HADITS PALSU DALAM SUNAN ABU DAWUD

October 29, 2013 at 12:25 am | Posted in Hadits | Leave a comment

STUDI HADITS YANG DINILAI PALSU

OLEH IMAM AL ALBANI DALAM SUNAN ABU DAWUD

            Saya mencoba melakukan searching pada sunan Abu Dawud, untuk hadits-hadits yang dinilai “Maudhuu’” (palsu) oleh Imam Al Abani. Kemudian saya mendapatkan 2 buah hadits yang dinilai palsu oleh beliau. Yaitu :

  1. Hadits no. 5081 cet. Maktabah Al ‘Ashriyyah, Beirut. Imam Abu Dawud menulis :

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ مُسْلِمٍ الدِّمَشْقِيُّ، وَكَانَ مِنْ ثِقَاتِ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الْمُتَعَبِّدِينَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُدْرِكُ بْنُ سَعْدٍ، قَالَ: يَزِيدُ شَيْخٌ ثِقَةٌ عَنْ يُونُسَ بْنِ مَيْسَرَةَ بْنِ حَلْبَسٍ، عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: «مَنْ قَالَ إِذَا أَصْبَحَ وَإِذَا أَمْسَى، حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، سَبْعَ مَرَّاتٍ، كَفَاهُ اللَّهُ مَا أَهَمَّهُ صَادِقًا كَانَ بِهَا أَوْ كَاذِبًا»

“Haddatsanaa Yaziid bin Muhammad Ad-Dimasyqiy, haddatsanaa ‘Abdur Rozaq bin Muslim Ad-Dimasyqiy, beliau perowi yang tsiqot dari kalangan kaum Muslimin dan termasuk ahli ibadah, ia berkata, haddatsanaa Mudrik bin Sa’ad, ia berkata, Yaziid seorang Syaikh tsiqot dari Yunus bin Maisaroh bin Halbas dari Ummu Dardaa’ dari Abu Dardaa t ia berkata : “Barangsiapa yang pada waktu pagi dan petang berdzikir : ‘Cukuplah Allah (sebagai penolongnya) tidak ada tuhan yang berhak diibadahi, kecuali Dia, kepadanya aku bertawakal dan Dia tuhannya Arsy yang agung’, sebanyak 7 kali, maka Allah akan memenuhi keinginannya dalam kondisi ia jujur atau berdusta””.

Kemudian Imam Al Abani memberikan penilaian : “موضوع” (palsu).

Sebelum kita gali lebih lanjut, maka kami akan sebutkan biografi para perowi yang dibawakan oleh Imam Abu Dawud diatas :

  1. Yaziid bin Muhammad seorang penduduk Damaskus, lahir pada tahun 198 H dan wafat pada tahun 277 H, sedangkan Imam Abu Dawud wafat pada tahun 275 H, sehingga beliau dipastikan sezaman dengannya dan perkataan haddatsanaa menambah keyakinan bahwa Imam Abu Dawud memang mengambil hadits darinya. Al Hafidz Ibnu Hajar memberikan kesimpulan penilaian kepadanya dalam “At-Taqriib” :

ثقة حافظ ، مصنف ” السنن ” و غيرها ، من كبار العلماء

“Tsiqoh Hafidz, penulis kitab As-Sunan dan selainnya, termasuk pembesarnya ulama”.

  1. Abdur Rozaq bin Muslim seorang penduduk Damaskus juga, perkataan haddatsanaa dari Yaziid yang satu tempat dengannya, menguatkan bahwa keduanya pernah bertemu. Al Hafidz menilainya “صدوق” (perowi yang jujur). Bahkan Imam Abu Dawud dalam kitabnya ini sendiri langsung memberikan rekomendasi “Tsiqoh” untuknya.
  2. Mudrik bin Sa’ad, juga seorang penduduk Damaskus, ia dinilai Al Hafidz dalam “At-Taqriib” : “لا بأس به” (tidak mengapa).
  3. Yaziid bin ‘Ubadah, juga penduduk Damaskus, dinilai Al Hafidz : “صدوق” (perowi jujur). Dan disini Imam Abu Dawud menilainya sebagai seorang Syaikh yang tsiqoh.
  4. Yunus bin Maisaroh, juga penduduk Damaskus, dinilai Al Hafidz : “ثقة عابد” (Tsiqoh Ahli ibadah).
  5. Ummu Dardaa’ namanya adalah Hujaimah ada yang mengatakan Juhaimah, penduduk Damaskus juga, wafat pada tahun 81 H, seorang perowi wanita yang dijadikan hujjah oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dalam kitab shahihnya. Al Hafidz menilainya : “ثقة فقيهة” (Tsiqoh ahli Fiqih).
  6. Abu Darda, wafat tahun 32 H atau setelahnya.

Kalau kita melihat susunan sanad dengan kondisi perowi sebagaimana diatas, maka sanadnya minimal Hasan, sesuai dengan kaedah ilmu Mustholah hadits. Dan hadits ini mauquf karena berasal dari ucapan Sahabat Abu Darda t. Saya agak heran kenapa Imam Al Albani memberikan penilaian palsu untuk hadits ini. Kemudian saya mencoba mencari takhrij hadits ini dari karya Imam Al Albani lainnya dan saya dapatkan dalam “Silsilah Ahaadits Dhoifah” (no. 5286), beliau hanya memberikan penilaian Mungkar”, itupun hadits yang dimaksud beliau adalah yang meriwayatkan hadits ini secara marfu’. Beliau berkata dalam kesimpulannya :

وجملة القول في هذا الحديث : أن إسناد الموقوف رجاله ثقات ، بخلاف المرفوع ؛ فإن مداره على أحمد بن عبدالله بن عبدالرزاق المقرىء ، ولم أعرفه ، ولا ذكره ابن الجزري في “غاية النهاية في طبقات القراء” . ومع ذلك ؛ فقد خالف الثقات الذين أوقفوه ؛ كما رأيت ، فحري بمثله أن يكون ما رفعه منكراً

“Kesimpulannya tentang hadits ini : ‘bahwa sanad yang mauquf, perowinya adalah para perowi tsiqoh, berbeda dengan yang marfu’. Karena sanadnya bersumber dari Ahmad bin Abdullah bin Abdur Rozaq Al Muqri’, aku (Al Albani) tidak mengetahuinya, Ibnul Jauzi pun tidak menyebutkannya dalam “Ghoyatun Nihayah fii Thobaqootil Quroo’”. Disamping itu juga riwayat yang marfu’ menyelisihi para perowi tsiqot yang memauqufkannya, sebagaimana engkau lihat, maka berdasarkan hal ini, riwayat yang marfu’ adalah mungkar”.

Dari pernyataan beliau, maka kita dapat mengambil faedah bahwa riwayat Abu Dawud yang mauquf ini adalah shahih, karena para perowinya tsiqoh menurut Imam Al Albani. Ketika melihat bahwa isi hadits ini tidak mungkin berasal dari pemikiran dan ijtihad sahabat Abu Darda t, maka seharusnya hadits ini dihukumi marfu’. Imam Al Albani sendiri pun telah mengetahuinya, masih dalam kitab yang sama, selanjutnya Imam Al Albani menulis :

وأما قول المنذري في “الترغيب” (1/ 227) :

“رواه أبو داود هكذا موقوفاً ، ورفعه ابن السني وغيره ، وقد يقال : إن مثل هذا لا يقال من قبل الرأي والاجتهاد ، فسبيله سبيل المرفوع” !

فأقول : ذلك من الممكن بالنسبة لأصل الحديث ، بخلاف الزيادة ؛ فإنها غريبة منكرة ؛ كما قال ابن كثير ، وهو ظاهر جداً ؛ إذ لا يعقل أن يؤجر المرء على شيء لا يصدق به ، بل هذا شيء غير معهود في الشرع . والله أعلم .

“Adapun ucapan Al Mundziriy dalam “At-Targhiib” (1/227) : ‘Abu Dawud meriwayatkannya demikian secara mauquf, dimarfu’kan oleh Ibnus Suniy dan selainnya. Dapat dikatakan, semacam ini tidaklah berasal dari pemikiran dan ijtihad pribadi, maka ini adalah marfu (hukumnya)’.

Aku (Al Albani) berkata : ‘ini sesuatu yang mungkin dilihat dari asal hadits, berbeda dengan tambahannya (yakni sabda Nabi r : “dalam kondisi ia jujur atau berdusta”-pent.). karena ini tambahan asing yang mungkar, sebagaimana dikatakan Ibnu Katsiir dan ini sangat Nampak sekali, yaitu tidak masuk akal, seseorang diberikan pahala atas perbuatannya yang tidak jujur, bahkan ini adalah sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Wallahu A’lam”.

Jadi penghukuman palsu yang diberikan oleh Imam Al Albani adalah pada makna “dalam kondisi ia jujur atau berdusta”. Karena bagaimana mungkin seorang yang tidak jujur diberikan pahala atas perbuatannya tersebut.

  1. Hadits no. 5273 cet. Maktabah Al ‘Ashriyyah, Beirut. Imam Abu Dawud menulis :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ، حَدَّثَنَا أَبُو قُتَيْبَةَ سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي صَالِحٍ الْمَدَنِيِّ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَهَى أَنْ يَمْشِيَ يَعْنِي الرَّجُلَ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ»

“Haddatsanaa Muhammad bin Yahya bin Faaris, haddatsanaa Abu Qutaibahn Salim bin Qutaibah dari Dawud bin Abi Shoolih Al Madaniy dari Naafi’ dari Ibnu Umar t ia berkata : “bahwa Nabi r melarang seorang laki-laki berjalan diantara 2 wanita”.

Kemudian Imam Al Abani memberikan penilaian : “موضوع” (palsu).

Mari kita lihat biografi para perowinya :

  1. Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dilahirkan pada tahun 172 H dan wafat pada tahun 258 H menurut pendapat yang shahih. Al Hafidz dalam “At-Taqriib” menilainya : “ثقة حافظ جليل” (Tsiqoh Hafidz ulama besar).
  2. Salim bin Qutaibah, wafat pada tahun 200 H atau lebih, dinilai oleh Al Hafidz : “صدوق” (perowi jujur).
  3. Dawud bin Abi Shoolih, Imam Ibnu Hibban menilainya :

يروى الموضوعات عن الثقات حتى كان يتعمد

“meriwayatkan hadits-hadits palsu dari perowi tsiqoh, sehingga akhirnya dijadikan pegangan”.

  1. Naafi Maula Ibnu Umar dan Ibnu Umar t adalah perowi masyhur yang tidak diragukan lagi ketsiqohannya.

Barangkali karena kelemahan pada diri Dawud bin Abi Shoolih inilah Imam Al Albani menilainya sebagai hadits Palsu. Imam Al Albani dalam “Silsilah Ahaadits Adh-Dhoifah” (no. 375) pun memberikan penilaian palsu untuk hadits ini. Kemudian pada akhir takhrijnya, beliau berkata :

عبد الحق في ” الأحكام ” ( 205 / 1 ) قال : و له فيه لفظ آخر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” إذا استقبلك المرأتان فلا تمر بينهما خذ يمنة أو يسرة ” ، ذكره أبو أحمد بن عدي .

قلت : أخرجه من طريق يوسف بن الغرق عن داود به و يوسف كذاب كما تقدم بيانه تحت رقم ( 193 )

“Abdul Haq berkata dalam “Al Ihkaam” (1/205) : ‘ia memiliki lafadz lain, Rasulullah r bersabda : “Jika engkau bertemu dengan 2 wanita, janganlah melewati diantara keduanya, namun ambil sebelah kanan atau sebelah kirinya”. Diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin Ady.

Aku (Al Albani) berkata : ‘diriwayatkan dari jalan Yusuf ibnul Ghorqi dari Dawud (bin Abi Shoolih ini). Yusuf perowi pendusta, sebagaimana penjelasannya di nomor 193’”.

Leave a Comment »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.