TAFSIR SURAT AL HASYR AYAT 10

September 2, 2014 at 11:14 pm | Posted in Syarah Kitab Tafsir min Shahih Muslim | Leave a comment

Imam Muslim berkata :

15 – (3022) حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَتْ لِي عَائِشَةُ: يَا ابْنَ أُخْتِي «أُمِرُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبُّوهُمْ»

15). Hadits no. 3022

Haddatsanaa Yahya bin Yahya, akhbaronaa Abu Mu’awiyyah dari Hisyaam bin Urwah dari Bapaknya ia berkata, Aisyah rodhiyallahu anha berkata : “wahai anak saudaraku! Mereka diperintahkan untuk memohonkan ampun bagi sahabat Nabi sholallahu alaihi wa salam, namun mereka malah mencelanya”.

Imam Muslim berkata :

15 – وَحَدَّثَنَاهُ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ

15)

Haddatsanaa Abu Bakar bin Abi Syaibah, haddatsanaa Abu Usaamah, haddatsanaa Hisyaam dengan sanad ini.

Penjelasan Hadits :

  1. Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, berkata :

قَالَ الْقَاضِي : الظَّاهِر أَنَّهَا قَالَتْ هَذَا عِنْدَمَا سَمِعَتْ أَهْل مِصْر يَقُولُونَ فِي عُثْمَان مَا قَالُوا ، وَأَهْل الشَّام فِي عَلِيّ مَا قَالُوا ، وَالْحَرُورِيَّة فِي الْجَمِيع مَا قَالُوا . وَأَمَّا الْأَمْر بِالِاسْتِغْفَارِ الَّذِي أَشَارَتْ إِلَيْهِ فَهُوَ قَوْله تَعَالَى : { وَاَلَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدهمْ يَقُولُونَ رَبّنَا اِغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ }

Al-Qodhi berkata : ‘yang nampak bahwa Aisyah rodhiyallahu anha mengatakan ini, ketika mendengar penduduk Mesir mencela Utsman rodhiyallahu anhu, ketika penduduk Syam mencela Ali rodhiyallahu anhu dan penduduk haruriyah (khowarij) mencela para sahabat. Adapun perkara memintakan ampun, Beliau rodhiyallahu anha mengisyaratkan kepada Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa : { Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami} (QS. Al Hasyr : 10)’.

  1. Imam Nawawi juga menukil :

وَبِهَذَا اِحْتَجَّ مَالِك فِي أَنَّهُ لَا حَقّ فِي الْفَيْء لِمَنْ سَبَّ الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ ، لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى إِنَّمَا جَعَلَهُ لِمَنْ جَاءَ بَعْدهمْ مِمَّنْ يَسْتَغْفِر لَهُمْ . وَاللَّهُ أَعْلَم

Dengan ayat ini Imam Malik berhujjah, bahwa Fa’i tidak diberikan kepada orang yang mencela para sahabat rodhiyallahu anhum, karena Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa, hanyalah menjadikan fa’i bagi orang-orang yang datang sesudah mereka yang memintakan ampun buat mereka. Wallahu A’lam.

Hal ini karena dalam ayat sebelumnya, Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa berfirman tentang Fa’i kepada siapa ia diberikan. Firman-Nya :

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 7-10).

  1. Mencela sahabat adalah akidahnya ahli bid’ah, terutama Rafidhoh yang mereka beribadah dengan jalan mencela para sahabat rodhiyallahu anhum. Para Aimah telah menulis kitab-kitab Ushul agama, yang mana mereka menjadikan perkara tidak mencela sahabat dan memuji mereka sebagai bagian dari pokok agama. Misalnya Imam Thawawi menulis dalam Aqidah ath-Thahawiyyah :

ونحب أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا نفرط في حب أحدٍ منهم ، ولا نتبرأ من أحد منهم ، ونبغض من يبغضهم وبغير الخير يذكرهم ، ولا نذكرهم إلا بخير ، وحبهم دين وإيمان وإحسان وبغضهم كفر ونفاق وعصيان

Kami mencintai para sahabat Rasulullah sholallahu alaihi wa salam, kami tidak meremehkan dalam mencintai mereka dan kami tidak berlepas diri dari salah satu mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan terhadap hal-hal yang tidak baik yang dikatakan tentang mereka. Mencintai mereka adalah pokok agama, iman dan kebaikan, sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan kemaksiatan.

Imam al-Baghowi dalam Syarhus Sunnah menukil ucapan Imam Malik :

من أصبح من الناس في قلبه غلّ على أحد من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – فقد أصابته هذه الآية

Barangsiapa yang dalam hatinya ada sifat jengkel kepada salah seorang dari sahabat Nabi sholallahu alaihi wa salam, maka ia telah terkena ayat tersebut.

Yang dimaksud Imam Malik adalah ayat dari surat Al-Fath :

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar (QS. Al Fath : 29).

Imam Syaukani dalam Tafsirnya berkata :

فإن وجد في قلبه غلّ لهم فقد أصابه نزغ من الشيطان

Jika ada orang yang dalam hatinya jengkel kepada sahabat Nabi, maka ia telah mendapatkan penyimpangan hati dari syaithon.

Imam Ahmad dalam Kitabnya as-Sunnah berkata :

من السنة ذكر محاسن أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – كلهم أجمعين، والكف عن الذي جرى بينهم، فمن سبَّ أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أو واحداً منهم فهو مبتدع رافضي؛ حبهم سنّة، والدعاء لهم قربة، والاقتداء بهم وسيلة، والأخذ بآثارهم فضيلة.

وقال: لا يجوز لأحد أن يذكر شيئاً من مساوئهم، ولا يطعن على أحد منهم، فمن فعل ذلك فقد وجب على السلطان تأديبه وعقوبته، ليس له أن يعفو عنه، بل يعاقبه ثم يستتيبه، فإن تاب قبل منه؛ وإن لم يتب أعاد عليه العقوبة، وخلده في الحبس حتى يتوب ويراجع

Termauk sunnah adalah menyebutkan kebaikan para sahabat Rasulullah sholallahu alaihi wa salam semuanya dan menahan diri dari apa yang terjadi diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para sahabat Rasulullah sholallahu alaihi wa salam atau salah satu diantara mereka, maka itu adalah ahlu bid’ah rofidhoh. Mencintai mereka adalah pokok sunnah, mendoakan mereka adalah pendekatan diri kepada Allah, meneladani mereka adalah sarana beribadah dan mengambil petunjuk mereka adalah keutamaan.

Tidak boleh seorang menyebutkan sedikit pun kejelekan para sahabat, tidak boleh mencela mereka, barangsiapa yang mengatakan hal itu, maka wajib bagi pemerintah untuk mengajari dan menghukumnya, tidak ada maaf baginya, namun ia dihukum lalu dimintai taubat, jika bertaubat diterima taubatnya, jika tidak mau bertaubat, maka kembali dihukum dan dicambuk serta dipenjara sampai ia bertaubat dan kembali kepada kebenaran.

Syaikhul Islam Ibnul Qoyiim dalam “Hidayatul Hiyaari (1/103) menukil :

قال الشافعي في رسالته وقد ذكر الصحابة فعظمهم وأثنى عليهم ثم قال: وهم فوقنا في كل علم واجتهاد وورع وعقل وأمر أستدرك به علم، وآراؤهم لنا أحمد وأولى بنا من آرائنا، ومن أدركنا ممن نرضى أو حكي لنا عنه ببلدنا صاروا فيما لم يعلموا فيه سنة إلى قولهم ان اجتمعوا أو قول بعضهم إن تفرقوا، وكذلك نقول ولم نخرج من أقاويلهم كلهم. وقال الشافعي: وقد أثنى الله على الصحابة في التوراة والإنجيل والقرآن وسبق لهم على لسان نبيهم صلى الله عليه وسلم من الفضل ما ليس لأحد بعدهم.

“Imam Syafi’I berkata dalam risalahnya, beliau menyebut sahabat, lalu mengangungkan dan memuji mereka, katanya : “mereka adalah diatas kita dalam seluruh ilmu, ijtihad, waro’, kecerdasan dan perkara ilmu yang mereka dapatkan. Pendapat-pendapat mereka lebih kami puji dan lebih utama daripada pendapat-pendapat kami. Barangsiapa yang kami dapati dari orang yang kami ridhoi atau diceritakan kepada kami di negeri kami, maka berlakukan apa yang tidak diketahui didalamnya ada sunnah kepada ucapan para sahabat jika mereka telah bersepakat atau ucapan sebagian mereka jika mereka berselisih pendapat, demikianlah madzhab kami tidak akan keluar dari pendapat mereka semuanya”. Imam Syafi’I berkata lagi : “Allah I telah memuji sahabat dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an dan juga pujian dari Nabi mereka r tentang keutamaan mereka yang tidak dimiliki seorang pun setelah generasi mereka” ”.

Leave a Comment »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.