TINGGALKAN PERDEBATAN SEKALIPUN DI PIHAK YANG BENAR

June 14, 2015 at 3:29 am | Posted in Nasehat | 2 Comments

TINGGALKAN PERDEBATAN SEKALIPUN DI PIHAK YANG BENAR

 

Suatu ketika ada beberapa sahabat yang sedang berdebat tentang takdir, ketika Rasulullah sholallahu alaihi wa salam melewati mereka, Beliau pun sangat marah. Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (no. 85) meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu anhu dengan sanad yang dikatakan hasan shahih oleh Imam Al Albani, bahwa beliau rodhiyallahu anhu berkata :

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَصْحَابِهِ، وَهُمْ يَخْتَصِمُونَ فِي الْقَدَرِ، فَكَأَنَّمَا يُفْقَأُ فِي وَجْهِهِ، حَبُّ الرُّمَّانِ مِنَ الْغَضَبِ، فَقَالَ: «بِهَذَا أُمِرْتُمْ، أَوْ لِهَذَا خُلِقْتُمْ، تَضْرِبُونَ الْقُرْآنَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ، بِهَذَا هَلَكَتِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ»

Rasulullah sholallahu alaihi wa salam melewati para sahabatnya, mereka sedang “ngotot-ngototan” tentang permasalahan takdir. Maka Nabi sholallahu alaihi wa salam pun seolah-olah di wajahnya pecah biji delima (memerah wajahnya –pen.) karena saking marahnya, lalu bersabda : “dengan inikah kalian diperintahkan, atau karena inilah kalian diciptakan, kalian membenturkan satu ayat Al Qur’an dengan lainnya. Dengan sebab inilah binasa umat-umat sebelum kalian”.

Hadits yang senada diriwayatkan juga oleh Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu dalam riwayat Imam Tirmidzi dengan sanad yang dihasankan oleh Imam Al Albani.

Asy-Syaikh Ubaidillah bin Muhammad al-Mubarokfuriy dalam kitabnya Muroo’atul Mafaatiih Syarah Misykatul Mashoobiih (1/201) berkata :

فالمقصود من الحديث الزجر والمنع من التكلم في القدر والخوض فيه لعدم الفائدة فيه سوى السؤال والمناقشة يوم القيامة

Maksud dari hadits adalah larangan dari membincangkan masalah qodar dan mendalam-ndalam padanya, karena tidak ada faedahnya, selain pertanyaan dan perdebatan pada hari kiamat-selesai-.

Oleh karena itu sebaiknya kita tinggalkan perdebatan dalam masalah agama yang tidak ada faedah didalamnya. Bahkan sekalipun kita di pihak yang benar, tetap meninggalkan perdebatan adalah jalan yang terbaik. Nabi sholallahu alaihi wa salam sampai memberikan garansi kepada umatnya yang mampu meninggalkan perdebatan, sekalipun ia benar dengan rumah di surga. Beliau sholallahu alaihi wa salam bersabda :

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Saya menjamin rumah di surga bawah, bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar; dan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan berdusta, sekalipun untuk bercanda; serta rumah di surga atas bagi orang yang bagus akhlaknya (HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Imam Al Albani).

Penjelasan hadits ini akan saya serahkan kepada asy-Syaikh Ahmad bin Abdur Rokhman Rosyiid –dosen universitas Ibnu Sa’ud, Saudi Arabia- yang menjawab pertanyaan sebagai berikut :

Soal : apa makna hadits Nabi sholallahu alaihi wa salam : “aku menjamin rumah di surga bawah bagi orang yang meninggalkan perdebatan, sekalipun ia benar….”. apa perbedaan antara al-Miroo’ dengan al-Jidaal?, bagaimana kita mengetahui seorang itu miroo’ atau Jidal?

Jawab :

Alhamdulillahir Robbil ‘Alamiin, sholawat dan salam kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia, yaitu Nabi kita Muhammad sholallahu alaihi wa salam. Amma ba’du :

Diriwayatkan Abu Dawud dari Abi Umaamah rodhiyallahu anhu bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wa salam bersabda :

Saya menjamin rumah di surga bawah, bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar; dan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan berdusta, sekalipun untuk bercanda; serta rumah di surga atas bagi orang yang bagus akhlaknya.

Ini adalah hadits yang termasuk Jawaami’ul Kalam yang yang diberikan kepada Nabi sholallahu alaihi wa salam, hadits ini mengandung kemukjizatan dan keringkasannya- yang menjadi pokok adab, kebagusan akhlaq, dan bagaimana bergaul dengan manusia. Nabi sholallahu alaihi wa salam menyebutkan disini balasan dan pahala bagi yang mengamalkan hal tersebut, yang mana Nabi sholallahu alaihi wa salam menyebutkan dalam hadits ini 3 rumah dalam Jannah :

  1. Rumah pertama, di Robadhil Jannah, yaitu bagian surga di bawah, bagi orang yang meninggalkan perdebatan, sekalipun ia benar.
  2. Rumah di tengah surga, bagi orang yang meninggalkan kedustaan di semua tempat yang tidak boleh berdusta, sekalipun dalam candaan. Ini perkara yang dilanggar oleh kebanyakan manusia yang mana mereka merasa lapang kedustaan pada diri mereka sendiri, mereka beralasan bahwa mereka sedang bercanda saja.
  3. Rumah di surga atas, bagi orang yang bagus akhlaknya yakni menempuh kebagusan akhlaknya, menjauhkan dari semua semua yang mengotori dan merusaknya. Serta meninggalkan semua yang menyelisihi fitroh Allah yang telah difitrohkan kepada manusia.

Syahid dari hadits ini yang terkait dengan al-Miroo’, bahwa Nabi sholallahu alaihi wa salam memotivasi umatnya untuk meninggalkan miroo’, dan mengganjarnya dengan pahala yang besar, sebagaimana larangan Nabi sholallahu alaihi wa salam terkait al-Miroo’, sebagaimana dalam hadits yang lain, diantaranya :

  1. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda :

لا يؤمن العبد الإيمان كله حتى يترك الكذب في المزاح ، ويترك المراء وإن كان صادقا

Tidak beriman seorang hamba dengan keimanan yang menyeluruh, hingga ia meninggalkan dusta, sekalipun bercanda dan meninggal al-Miroo’, sekalipun ia jujur (didhoifkan oleh Syaikh Syu’aib Arnauth).

  1. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu bahwa Rasulullah sholallahu alaihi wa salam bersabda :

لا تمار أخاك

Janganlah berdebat dengan saudaramu (didhoifkan oleh Imam Al Albani).

Dalam hadits ini dan yang semisalnya Nabi sholallahu alaihi wa salam mengingatkan semua perkara yang tidak layak disandang seorang Muslim dan tidak pantas menjadi akhlaknya. Diantara akhlak yang tidak diridhoi adalah al-Miroo’, maksudnya secara bahasa adalah meluapkan kemarah kepada yang diajak berdebat. Ini berasal dari kata “مريت الشاة” jika engkau memeras susunya. Hakikat al-Miroo’ yang dilarang adalah seorang mencela ucapannya orang lain, untuk menyudutkannya, tidak ada tujuan lain, kecuali untuk meremehkan ucapannya yang berbeda dengannya. Sekalipun orang yang melakukan perbuatan ini diatas kebenaran, namun tidak boleh untuk menempuh metode ini, karena tidak ada maksud dibelakang itu, selain meremehkan selain dan mengalahjannya.

Adapun al-Jidaal adalah berasal dari kata al-Jadal, yang secara bahasa artinya mengalahkan lawan dan mampu menguasainya. Hakikat jidal dalam istilah syar’i adalah mengcounter ucapan lawan dari maksudnya yang batil. Jadal diperintakan, jika dengan keadilan dan untuk menampakkan kebenaran. Imam Ibnul Jauzi dalam kitabnya al-Iidhooh berkata : “ketahuilah semoga Allah memberikan taufik kepada kita, bahwa mengenal ilmu jidal tidak hanya cukup dengan teori, tanpa ada praktek. Karena hal tersebut menjelaskan shahihnya dalil dari kerusakannya, secara tahrir dan taqrir, seandainya ia meninggalkan ilmu ini, niscaya akan hilang dan tidak terjaga” –selesai-.

Para ulama telah membahas tentang jidal dan mujadilah sangat banyak sekali, mereka telah menulis banyak karya tentang hal ini, telah dijelaskan pokok-pokok dan tujuannya, telah dibakukan adab dan akhlaknya. Diantaranya adalah pada yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya al-Iidhooh : “yang pertama kali wajib dimulai dengannya adalah bagusnya niat dalam menampakkan kebenaran, mengharapkan pahala disisi Allah, maka jika terbetik dalam dirinya untuk berpaling dari tujuan yang benar, hendaknya ia tahan dirinya sekuat mungkin, jika tidak bisa maka tinggalkan perdebatan dalam majelis tersebut…..

Kemudian pada akhir jawabannya, asy-Syaikh berkata : “adapun jidal maka ada 2 kondisi, yang pertama jidal yang terpuji yaitu dalam rangka menjelaskan kebenaran dan menampakkannya dan memadamkan kebatilan dan merontokkannya, ini adalah perkara yang diperintahkan oleh dalil-dalil syar’i dan telah dilakukan oleh ulama yang dulu maupun yang sekarang. Yang kedua jidal yang tercela yang tujuannya adalah untuk mengalahkannya dan membela dirinya serta semisalnya, ini yang dikandung oleh dalil-dalil syar’i yang melarang perdebatan, dan jidal ini seperti al-Miroo’, yang keduanya haram.

Mungkin seorang dapat mengetahui apakah itu adalah al-Miroo’ atau Jidal dari nada pembicaraannya dan kesesuainnya dengan apa yang ditunjukkan oleh dalil yang shahih. Sehingga itu disebut jidal jika dalam rangka menjelaskan keberan dan menerima dalil yang shahih serta mengamalkan konsekuansinya, kecuali jika ada disisinya dalil yang lebih kuat yang menentangnya. Oleh karena itu engkau dapati kebanyakan orang yang berdebat dengan kebenaran akan rujuk kepada ucapannya jika jelas bagi mereka kesalahannya dan mengambil ucapan yang lebih kuat, karena tujuannya adalah mendapatkan kebenaran, bukan membela dirinya.

Adapun orang yang al-Miroo, engkau akan mendapatinya ngeyel diatas pendapatnya tanpa dalil, tidak akan menerima dalil, kecuali yang sesuai dengan pendapatnya, oleh karena itu ia akan memaksakan membantah dalil dan takwil serta memalingkan dalil-dalil shohih dan yang semisal dengannya, yang menunjukkan ia tidak menghendaki kebenaran, tujuannya adalah membela dirinya dan meremehkan orang lain” –selesai-.

2 Comments »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. ijin share ya, artikelny bagus

    Like

  2. silakan

    Like


Leave a comment

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.