HUKUM SUJUD SAHWI

June 27, 2017 at 4:46 am | Posted in Tulisan Lainnya | Leave a comment

HUKUM SUJUD SAHWI
Para ulama bersepakat bahwa sujud sahwi itu disyariatkan, namun mereka berbeda pendapat dalam masalah hukum taklifinya menjadi dua madzhab :

1. Wajib, ini adalah pendapat resminya Hanafiyyin, sekalipun sebagian ulama mereka ada yang mengatakan hukumnya sekedar sunnah. Asy-Syaikh Muhammad bin Firoomuriz atau yang lebih masyhur dengan sebutan Mulaa Khusruu (w. 885 H) dalam kitabnya “درر الحكام شرح غرر الأحكام” (1/150) berkata :

(بَابُ سُجُودِ السَّهْوِ وَالشَّكِّ) (يَجِبُ) أَيْ سُجُودُ السَّهْوِ، وَقِيلَ يُسَنُّ وَالصَّحِيحُ الْأَوَّلُ

“Sujud Sahwi itu hukumnya wajib. Ada yang mengatakan hukumnya sunnah. Namun yang benar adalah pendapat pertama (yaitu wajib).

Kemudian asy-Syaikh Hasan bin ‘Aamar asy-Syurunbulaaliy (w. 1069 H) memberikan hasyiyah (catatan kaki, yang dicetak bersama denan kitab diatas) bahwa ulama Hanafi yang mengatakan hukumnya sunnah adalah Imam Abul Husain al-Quduuriy (w. 428 H). sedangkan pembesar ulama hanafiyyah lainnya memilih pendapat yang mewajibkannya.
Adapun madzhab Maliki, maka terjadi khilaf dikalangan mereka, ada yang mengatakan bahwa sujud sahwi sebelum salam wajib hukumnya, adapun setelah salam, maka tidak ada perselisihan pendapat dikalangan mereka bahwa hukumnya tidak wajib alias sunnah. Asy-Syaikh al-Khithoob ar-Ru’ainiy al-Malikiy (w. 954 H)dalam kitabnya “مواهب الجليل في شرح مختصر خليل” (2/14) berkata : 

وَفِي وُجُوبِهِمَا قَوْلَانِ قَالَ فِي التَّوْضِيحِ أَطْلَقَ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – الْخِلَافَ فِي وُجُوبِهِمَا وَالْخِلَافُ إنَّمَا هُوَ فِي الْقَبْلِيِّ وَأَمَّا الْبَعْدِيُّ فَلَا خِلَافَ فِي عَدَمِ وُجُوبِهِ

“terkait wajibnya ada dua pendapat. Penulis at-Taudhiih memutlakkan perselisihan tentang kewajibannya hanya pada sujud sahwi sebelum salam, adapun sesudah salam, maka tidak ada perselisihan bahwa hukumnya tidak wajib”.
Adapun madzhab Hanbali mereka merinci hukumnya menjadi tiga. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad as-Salmaan (w. 1422 H) dalam kitab fiqih yang disusun dengan bentuk tanya jawab “الأسئلة والأجوبة الفقهية” (1/139 – 140) menjelaskan perinciannya tersebut :

يسن إذا أتى بقول مشروع في غير محله، لعموم قوله صلى الله عليه وسلم: «إذا نسي أحدكم فليسجد سجدتين» رواه مسلم. ويباح إذا ترك مسنونًا سهوًا كان من عزمه أن يأتي به ولا يسن؛ لأنه لا يمكن التحرز منه، ويجب إذا زاد ركوعًا أو سجودًا أو قيامًا أو قعودًا، 

“disunahkan jika ia berdzikir bukan pada tempat yang seharusnya, karena keumuman sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam : “jika kalian lupa, maka sujudlah dengan dua kali sujud” (HR. Muslim).

Hukumnya mubah, jika lupa meninggalkan sunah-sunah sholat yang sebelumnya ia sudah bertekad untuk mengerjakannya, karena tidak mungkin untuk dihindari.

Dan menjadi wajib jika ia menambahi ruku’, sujud, berdiri atau duduk..” –selesai-.

Dalam hal ini, hanabilah mendatangkan hukum yang ketiga yaitu mubah.
Adapun Imam ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya “المحلى بالآثار” (3/76) merinci amalan sholat menjadi dua terkait masalah sujud sahwi, sebagai berikut :

قَالَ عَلِيٌّ: وَبُرْهَانُ صِحَّةِ قَوْلِنَا هُوَ أَنَّ أَعْمَالَ الصَّلَاةِ قِسْمَانِ – بِيَقِينٍ لَا شَكَّ فِيهِ – لَا ثَالِثَ لَهُمَا -: إمَّا فَرْضٌ، يَعْصِي مَنْ تَرَكَهُ، وَإِمَّا غَيْرُ فَرْضٍ، فَلَا يَعْصِي مَنْ تَرَكَهُ فَمَا كَانَ غَيْرَ فَرْضٍ فَهُوَ مُبَاحٌ فِعْلُهُ، وَمُبَاحٌ تَرْكُهُ وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُ مَنْدُوبًا إلَيْهِ مَكْرُوهًا تَرْكُهُ.

فَمَا كَانَ مُبَاحًا تَرْكُهُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَلْزَمَ حُكْمًا فِي تَرْكِ أَمْرٍ أَبَاحَ اللَّهُ تَعَالَى تَرْكَهُ، فَيَكُونَ فَاعِلُ ذَلِكَ شَارِعًا مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ تَعَالَى؟ وَأَمَّا الْفَرْضُ – وَهُوَ الْقِسْمُ الثَّانِي – وَهُوَ الَّذِي تَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِتَعَمُّدِ تَرْكِهِ وَلَا تَبْطُلُ بِالسَّهْوِ فِيهِ، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ} [الأحزاب: 5] .

فَإِذْ الصَّلَاةُ لَا تَبْطُلُ بِالسَّهْوِ فِيهِ وَكَانَ سَهْوًا، فَفِيهِ سُجُودُ السَّهْوِ، إذْ لَمْ يَبْقَ غَيْرُهُ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُخَصَّ بَعْضُهُ بِالسُّجُودِ دُونَ بَعْضٍ – وَبِاَللَّهِ تَعَالَى التَّوْفِيقُ.

“Ali berkata, dalil sahihnya pendapat kami adalah amalan sholat itu ada dua jenis –tidak ragu lagi, dan tidak ada jenis yang ketiga-, yaitu : (pertama) amalan wajib dimana orang yang meninggalkannya berarti berbuat maksiat, dan (yang kedua) tidak wajib, dimana orang yang meninggalkannya dianggap tidak bermaksiat . maka amalan yang tidak wajib boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, sekalipun sebagian amalan tersebut ada yang disunahkan, dimana makruh untuk meninggalkannya. Maka amalan yang boleh ditinggalkan, tidak boleh untuk mewajibkan hukumnya karena Allah telah memperbolehkan meninggalkannya, sehingga orang yang mengharuskan hal tersebut, berarti ia membuat syariat tanpa seijin Allah subhanahu wa ta’aalaa.

Adapun amalan wajib –ini adalah jenis kedua- yangmana batal sholatnya bagi yang meninggalkannya dengan sengaja, dan tidak batal jika karena lupa, sebagaimana Firman Allah subhanahu wa ta’aalaa : { Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. } (QS. Al Ahzaab : 5).

Sehingga sholat yang tidak batal karena lupa, dalam kondisi dia lupa, maka wajib padanya sujud sahwi. Jika tidak tersisa amalan selainnya, maka tidak boleh mengkhususkan sebagian sujud pada satu tempat, tanpa di tempat lainnya” –selesai-.
Jadi dalam madzhab Dhohiri mereka memandang wajibnya sujud sahwi pada amalan-amalan sholat yang jika ditinggalkan dengan sengaja, batal sholatnya. Jika ia meninggalkannya karena lupa (sahwu), maka wajib sujud sahwi padanya.
2. Hukumnya Sunnah. Ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki, selain ada sebagian ulama mereka yang mewajibkannya, sebagaimana keterangan diatas. Asy-Syaikh ad-Dasuuqiy al-Malikiy (w. 1230 H) dalam kitabnya “حاشية الدسوقي على الشرح الكبير” (1/273) berkata :

ثُمَّ إنَّ مَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مِنْ سُنِّيَّةِ السُّجُودِ لِلسَّهْوِ سَوَاءٌ كَانَ قَبْلِيًّا أَوْ بَعْدِيًّا هُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ الْمَذْهَبِ وَقِيلَ بِوُجُوبِ الْقَبْلِيِّ قَالَ فِي الشَّامِلِ وَهُوَ مُقْتَضَى الْمَذْهَبِ.

“kemudian apa yang disebutkan oleh penulis tentang sunahnya sujud sahwi sama saja apakah sebelum atau sesudah salam ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab (Maliki). Ada yang berpendapat wajibnya sujud sahwi sebelum salam, penulis kitab “asy-Syaamil” berkata, (wajibnya sujud sahwi sebelum salam) adalah konsekuensi dari madzhab (Maliki).
Kemudian Syafi’iyyah juga berpendapat hukumnya sunnah. Al-‘Alamah Zakariya al-Anshoriy (w. 926 H) dalam kitabnya “فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب” (1/62) berkata :

” سُجُودُ السَّهْوِ ” فِي الصَّلَاةِ فَرْضًا أَوْ نَفْلًا ” سُنَّةٌ ”

“Sujud Sahwi dalam sholat baik sholat wajib maupun sholat nafilah, hukumnya adalah sunnah”.
Dalil sunahnya sujud sahwi menurut madzhab Syafi’iyyah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari jalannya sampai kepada Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu secara marfu’ :

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُلْقِ الشَّكَّ، وَلْيَبْنِ عَلَى الْيَقِينِ، فَإِذَا اسْتَيْقَنَ التَّمَامَ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، فَإِنْ كَانَتْ صَلَاتُهُ تَامَّةً كَانَتِ الرَّكْعَةُ نَافِلَةً وَالسَّجْدَتَانِ وَإِنْ كَانَتْ نَاقِصَةً كَانَتِ الرَّكْعَةُ تَمَامًا لِصَلَاتِهِ، وَكَانَتِ السَّجْدَتَانِ مُرْغِمَتَيِ الشَّيْطَانِ

“jika kalian ragu dalam sholatnya, maka buanglah keraguan dan bersandarlah kepada hal yang yakin. Jika telah selesai sholatnya, lalu sujud dengan dua kali sujud. Jika sholatnya ternyata telah sempurna, maka rokaat (tambahannya –pent.) adalah sebagai nafilah dan (begitu juga) dua sujudnya, namun jika memang jumlah rokaat sholatnya kurang, maka rokaatnya tambahannya tadi sebagai penyempurna dan dua sujud sahwinya, membuat setan kecewa”. (dinilai hasan shahih oleh Al Albani).
Adapun pendapat yang kami pandang rajih adalah pendapat yang mengatakan sujud sahwi hukumnya wajib pada amalan-amalan sholat yang jika seorang meninggalkannya karena sengaja, maka batal sholatnya. Karena sujud sahwi ini, seperti pengganti dari batalnya sholat (jika bukan karena lupa). Begitu juga beberapa dalil dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam yang memerintahkan untuk melaksanakan sujud sahwi, ketika terjadi kelupaan dalam sholat. Misalnya dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu secara marfu’ :

ثم لِيَسْجُدْ سَجْدَتَيْن

“kemudian sujudlah dengan dua sujud sahwi”.
Adapun dalil yang digunakan Syafi’iyyah yang menunjukkan bahwa sujud sahwi adalah nafilah, maka konteksnya bukan untuk menjelaskan hukumnya, namun sujud sahwi dan tambahan rokaatnya, misalnya ia sholat Isya, lalu ragu-ragu apakah sudah 3 rokaat atau baru dua rokaat, kemudian ia memilih pendapat yang pasti yakin, bahwa sudah dua rokaat, sehingga kemudian dia menyelesaikan dua rokaat sisanya, setelah itu ia sujud sahwi, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam mengatakan, jika kenyataan sholatnya yang benar tadi sudah 3 rokaat, maka tambahan satu rokaat dan dua sujud sahwi (sebab ia berarti telah sholat 5 rokaat) adalah sebagai naafilah (tambahan) pahala baginya, bukan sebuah kemaksiatan. Namun jika ternyata yang benar adalah 2 rokaat, dimana berarti ia sudah bertindak hal yang benar, dengan menyempurnakan 2 rokaat sisanya (sholatnya berarti genap 4 rokaat), maka sujud sahwinya membuat setan kecewa, was-was yang ditimbulkannya tidak mempenaruhi sholatnya. Wallahul A’lam.
Asy-Syaikh DR. Wahbah az-Zuhailiy dalam kitabnya “الفِقْهُ الإسلاميُّ وأدلَّتُهُ” (2/1106) mempunyai suatu catatan yang bisa kita pertimbangkan, kata beliau :

والأولى ترك سجود السهو في الجمعة والعيدين إذا حضر فيهما جمع كبير، لئلا يشتبه الأمر على المصلين

“yang utama adalah meninggalkan sujud sahwi bagi sang Imam pada sholat Jum’at dan sholat hari raya, ketika makmum yang menghadirinya dalam jumlah besar, agar tidak menimbulkan kesamaran dikalangan jamaah sholatnya”.

Leave a Comment »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.